Heri Chandra Santoso: Menyalakan Cahaya Sastra dari Lereng Medini

04.56 Ivonie 0 Comments


Sumber : Instagram Klmboja




Di sebuah desa di kaki Pegunungan Medini, Kabupaten Kendal, langkah seorang pria sederhana menapaki jalan yang jarang dilalui banyak orang. Namanya Heri Chandra Santoso, sosok yang lahir di Kendal pada 22 Mei 1982 merupakan jurnalis dan alumni  Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Ia meyakini bahwa sastra bukan sekadar kumpulan kata, melainkan jembatan yang mampu menghubungkan hati manusia lintas usia, profesi, dan latar sosial. Dari desa kecil itulah, Heri menyalakan cahaya literasi yang kini menerangi banyak sudut kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Berawal dari Mencintai Dunia Sastra


Sumber : Klmboja


Sejak muda, Heri sudah jatuh cinta pada dunia sastra. Namun cinta itu bukan sekadar untuk dinikmati sendiri. Ia ingin membawanya pulang ke tanah kelahiran, agar anak-anak desa juga bisa mengenal puisi, cerita pendek, dan makna kehidupan dari lembaran buku. Keyakinannya sederhana tapi kuat: sastra adalah jalan sunyi yang bisa menumbuhkan empati dan karakter bangsa. Maka dari itu lahirlah gagasan untuk menghidupkan kegiatan literasi di kampung, bukan di gedung megah, melainkan di halaman rumah, warung kopi, bahkan di tengah kebun kopi yang ada di Lereng Medini.

Langkah kecil itu perlahan menjadi gerakan. Heri mengajak anak-anak muda desa untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Kegiatannya sederhana — bersepeda sambil membaca puisi, berkemah sambil menulis cerpen, hingga menggelar pertunjukan sastra di pasar desa. Semua dilakukan dengan semangat gotong royong. Ia percaya, sastra akan hidup bila dekat dengan denyut kehidupan masyarakat. “Sastra bukan milik kota. Ia milik siapa pun yang punya rasa,” ujarnya suatu sore di bawah pohon jati tua, tempat biasa mereka berlatih baca puisi.

Perjuangan adalah Proses Panjang Mencapai Tujuan




Perjuangan Heri tak selalu mudah. Ia sempat dicibir karena dianggap “melamun di dunia kata”, namun ia tetap teguh pendirian. Dukungan datang perlahan — dari warga, dari para guru, bahkan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga yang melihat potensi besar di gerakannya. Ia pun membentuk wadah bernama Komunitas Lereng Medini bersama karibnya yang bernama Sigit Susanto.

Mereka telah menorehkan gebrakan menarik dalam dunia literasi di tanah kelahirannya. Dengan jarak yang terpaut jauh, Sigit yang menetap di Swiss, kembali ke Boja untuk mendukung penuh inisiatif Heri. Sigit tidak hanya seorang perantau, tetapi juga seorang pecinta sastra yang telah berhasil membangun kehidupan bahagia dengan istrinya yang berasal dari Eropa. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap dunia literasi, Sigit mengubah rumahnya di Jalan Raya Bebengan 221, Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang selama ini ia tinggalkan, menjadi sebuah pusat belajar bernama Pondok Maos Guyub.

 

“Sigit juga seorang admin di milis Apresiasi Sastra. Dari platform itu, kami sebelumnya berkenalan dan kemudian memperoleh inspirasi untuk mendirikan taman bacaan dan perpustakaan gratis,” jelas Heri, lulusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang.

Awalnya, koleksi buku yang ada di taman bacaan ini berasal dari koleksi pribadi Heri dan Sigit. Tercatat, banyak buku yang bertemakan sastra, termasuk karya-karya para sastrawan legendaris dan penerima Nobel Sastra. Ternyata, antusiasme warga setempat sangat tinggi; setiap harinya, sekitar 40 hingga 50 orang mengunjungi taman bacaan ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, Heri dan Sigit merasa ada yang kurang. Mereka tidak ingin perpustakaan ini sekadar menjadi tempat menyimpan buku.

“Diperlukan ruang di mana orang dapat berinteraksi, berbagi pengalaman, dan belajar bersama-sama,” kata Heri.

Mendengar panggilan itu, kedua sahabat ini mulai berinovasi. Mereka memperkenalkan program Sastra Sepeda, di mana mereka bersepeda keliling kampung sambil memperkenalkan karya-karya sastra kepada masyarakat. Kegiatan yang unik dan menyenangkan ini rupanya berhasil menarik perhatian banyak orang, bahkan tidak sedikit media massa yang meliput kegiatan mereka.

Dengan semangat dan kreativitas, Heri dan Sigit telah berhasil menciptakan momen-momen berharga, tidak hanya bagi diri mereka, tetapi juga bagi masyarakat sekitar yang haus akan ilmu pengetahuan dan seni.

Pada 2008, Heri dan Sigit kemudian mengubah taman bacaan itu menjadi Komunitas Lereng Medini (KLM). Nama Medini, diambil dari nama perkebunan teh Medini yang berada di lereng sebelah barat Gunung Ungaran. Komunitas Lereng Medini merupakan ruang bagi siapa pun untuk belajar, berekspresi, dan menumbuhkan minat baca tanpa batas strata. Berdiri sejak tahun 2008, kegiatan komunitas itu menjelma menjadi oase budaya di pedesaan: tempat anak-anak belajar membaca puisi, petani berbagi kisah, dan ibu-ibu rumah tangga menulis pengalaman hidup mereka.

Lebih dari sekadar komunitas sastra, Lereng Medini menjadi simbol kolaborasi dan pemberdayaan. Heri memadukan kegiatan literasi dengan pengembangan ekonomi kreatif: dari membuat produk dengan kutipan sastra, hingga menggelar wisata edukasi literasi di kaki gunung. Ia membuktikan bahwa cinta pada kata-kata dapat menjadi sumber daya yang menyejahterakan.

Bagi Heri, semua yang ia lakukan bukan tentang popularitas, tapi tentang keberlanjutan. Ia ingin membangun kebiasaan berpikir dan berimajinasi di masyarakat desa. “Kalau anak-anak desa bisa menulis kisah mereka sendiri, berarti mereka sudah punya kesadaran untuk bermimpi,” katanya dengan mata berbinar. Dari pandangannya, tampak keyakinan seorang pejuang sunyi yang percaya bahwa perubahan besar sering lahir dari langkah kecil di pelosok negeri.




Kini, Heri Chandra Santoso bukan hanya dikenal sebagai pegiat literasi dari Kendal, tapi juga sebagai inspirasi bagi banyak orang yang ingin membangun Indonesia dari desa. Dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan arti sejati dari semangat Astra: Cinta Tanah Air, Semangat untuk Membangun, dan Keyakinan bahwa setiap insan dapat menjadi cahaya bagi lingkungannya.

 “Melalui cahaya sastra yang ia nyalakan di Lereng Medini, Heri Chandra Santoso menunjukkan bahwa membangun bangsa tidak selalu dengan beton dan baja — kadang cukup dengan kata, kepedulian, dan hati yang tulus.”

 #APA2025-ODOP/PLM/BLOGSPEDIA

0 comments: